Jumat, 21 Januari 2022

Macan Tutul Jawa di Zona Kiamat



Lagi dan lagi, kabar mengejutkan datang dari satwa di Tanah Air. Setelah belakangan ini beberapa satwa di Kebun Binatang Surabaya mati, kini muncul peringatan akan punahnya salah satu satwa khas Indonesia. SEBUAH pukulan telak bagi Indonesia saat muncul kabar matinya sejumlah hewan di Kebun Binatang Surabaya belakangan ini.



Mulai dari kematian tak wajar seekor singa karena terlilit kabel, lalu disusul dengan kematian komodo dan rusa. Sekarang Indonesia dihadapkan dengan peringatan akan punahnya macan tutul Jawa. Kabar beruntun tersebut seolah menjadi lembaran awal tak sedap di tahun Kuda Kayu ini. Macan Tutul Jawa (panthera pardus melas) yang merupakan salah satu satwa khas asli Indonesia ini tengah menghadapi “zona kiamat” jika tak segera di tangani dengan cepat.



Bagaimana tidak,hewan karnivora ini bisa saja menemani kerabatnya, yaitu harimau Jawa yang lebih dulu dinyatakan punah. Sejak harimau Jawa (panthera tigris sundaica) atau Javan Tiger dinyatakan punah pada 1980-an, macan tutul Jawa menjadi satu-satunya kucing besar yang masih hidup di Pulau Jawa. Nasib suram yang menimpa harimau Jawa diperkirakan tidak akan lama lagi akan menghampiri macan tutul Jawa,bilamana manusia hanya diam dan pihak terkait seperti pemerintah tidak memberi perhatian khusus untuk menjaga kelestarian fauna tersebut.



Kini, macan tutul Jawa masuk kategori critically endangered (kritis) dalam daftar spesies-spesies terancam milik Badan Konservasi Alam Internasional atau IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan juga berada dalam kategori apendiks 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) yang memiliki ketentuan untuk melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam, dari segala bentuk perdagangan. Kondisi kritis keberlangsungan hidup macan tutul ini diduga kuat bukan hanya akibat tingkat perkawinan dan perkembangbiakan alami yang rendah, melainkan juga diduga karena semakin menyempitnya habitat yang menjadi alasan di balik ancaman kepunahannya.



Hingga kini, tidak ada data pasti mengenai jumlah macan tutul atau leopard yang hidup liar di tanah Jawa ini. Sepanjang 2011-2013 lalu, tercatat sembilan pertemuan manusia dengan macan tutul Jawa. Enam ekor di antaranya kini terpaksa hidup di penangkaran. Seekor mati terkena jeratan babi di Jawa Tengah. Sejumlah aturan hukum sebetulnya sudah dibuat guna melindungi satu dari sembilan keluarga macan tutul di dunia ini. Mulai dari Surat Keputusan Menteri Pertanian No.421/Kpts/Um/8/1970, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 hingga PP No.7 Tahun 1999, namun perlindungan tetap belum jadi perhatian penting pemerintah dan pihak terkait.



Padahal satwa ini bahkan punya posisi istimewa karena ditetapkan sebagai fauna identitas daerah Jawa Barat sejak 2005. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa hingga saat ini tingkat ancaman terhadap macan tutul Jawa cukup tinggi. Menurutnya, ancaman tersebut ditandai dengan semakin hilangnya habitat alami, fragmentasi habitat MACAN TUTUL JAWA. DI ZONA KIAMAT serta menurunnya satwa mangsanya. “Sekarang populasi macan tutul Jawa ini tidak lebih dari 500 ekor baik jenis hitam maupun tutul, yang tersebar di Pulau Jawa,” tuturnya kepada SINDO Weekly awal pekan ini.



Zulkifli menjelaskan, keberadaan satwa langka tersebut di alam sangat tergantung pada kondisi habitat dan kelimpahan mangsa, terutama kijang, rusa, babi. dan kancil. Selain itu, lanjutnya, kehilangan habitat yang diikuti dengan sering terjadinya konflik antara manusia menyebabkan sebagian besar berakhir dengan kematian satwa ini. Karenanya, dia menyatakan bahwa upaya konservasi satwa serta habitatnya tersebut harus menjadi prioritas. Misalnya, kawasankawasan hutan yang ada di Pulau Jawa selain di kawasan konservasi antara lain yang dikelola Perhutani, katanya, diharapkan dapat menjadi salah satu tempat yang aman dan memadai bagi kelangsungan populasi macan tutul Jawa.



“Kita sudah kehilangan salah satu satwa karismatik Jawa, yakni harimau Jawa, jadi jangan sampai hal ini juga terjadi pada macan tutul Jawa,” imbuhnya. Cegah Kepunahan Ancaman punahnya macan tutul Jawa bukan karena perburuan. Menurut salah satu peneliti WWF, Sunarto, perburuan terhadap satwa ini relatif sedikit.



Justru is memperkirakan banyaknya konflik atau gesekan menyebabkan populasi mereka berkurang. “Konflik tersebut dimungkinkan akibat habitat teritorialnya makin sempit, ditambah persaingan dengan yang lebih muda. Dengan demikian, yang tua tersisih dan harus migrasi ke wilayah lain karena kalah dalam saingan perburuan. Hal ini menyebabkan mereka yang kalah keluar dari kawasan dan bahkan bisa masuk ke pemukiman warga,” katanya. Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Kebun Bina tang Seluruh Indonesia (PKBSI), Tony Sumampau.



Belakangan ini, kata Tony, sudah ada sekitar tiga konflik antara macan tutul dengan manusia di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. “Selain itu, terbatasnya pakan juga menjadi salah satu faktor utama konflik sekaligus faktor penurunan populasi macan tutul,” katanya. Terbatasnya pakan, lanjut Tony, menyebabkan mereka harus keluar habitat untuk mencari makan di pemukiman penduduk yang biasanya memiliki hewan peliharaan seperti anjing, ayam, dan lainnya.



Celakanya, hal tersebut menjadi salah satu kekhawatiran baru. “Hewan peliharaan yang dimangsa macan belum bisa dipastikan sehat. Apabila terjangkit penyakit, maka akan menular kepada macan tersebut serta bisa menularkan kepada kawan-kawannya. “Kalau ini terjadi. ancaman kepunahan akan semakin lebih cepat dan berbahaya.” imbuh Tony. Hal itu pernah terjadi pada seekor macan tutul di Ujung Kulon. Banten. Macan yang ditemukan penduduk dalam kondisi terjerat, terjangkit penyakit Acanto Chetala yang disebabkan cacing-cacing parasit yang merusak usus.



Penyakit tersebut tidak ada obatnya sehingga menyebabkan satwa ini mati. Karena itu, upaya penyelamatan yang serius dan terpadu sangat diperlukan untuk mencegah macan tutul senasib dengan harimau Jawa. Menurut Tony, ada sejumlah upaya yang saat ini bisa terus dilakukan, seperti metode ex-situ dan in-situ. Metode in-situ adalah upaya pengamatan hingga penyelamatan yang dilakukan di lingkungan habitat aslinya. Sementara, ex-situ merupakan kegiatan serupa namun dilakukan di luar habitatnya. “Misalnya, satwa yang ditemukan kemudian dibawa ke taman satwa untuk penangkaran.



Makanya dengan konsep ex-situ, ada upaya penyelamatan populasi yang ada di alam. Kalau tidak ada ex-situ. bisa dikatakan tidak ada cadangan untuk menunjang papar pengelola Taman Safari Indonesia ini. Pola ex-situ untuk macan tutul Jawa sudah dilakukan sejumlah kebun binatang yang ada di Pulau Jawa. Di Taman Safari Indonesia (Bogor) ada 11 jantan dan 4 betina. Kebun Binatang Ragunan (Jakarta) 1 betina, Taman Sari (Bandung) ada sepasang. Selain itu di Cikembulan (Garut) ada 7 jantan dan 1 betina. di Solo ada 1 jantan, di Sukabumi ada 3 jantan 1 betina dan beberapa penangkaran di kebun binatang lainnya.



Sementara, pola dilakukan melalui penangkaran lewat kerja sama dengan Perhutani di wilayah Jawa. Sehingga, menjadi habitat baru bagi macan tutul, apabila ancaman populasi di habitat lamanya semakin besar. “Draft strategic plan pola ini sudah ada, semoga dalam satu hingga dua bulan ke depan Kementerian Kehutanan dapat menandatanganinya sehingga lembagapemerhati satwa baik di tingkat pemer, intah maupun swadaya masyarakat dapat memiliki sistem yang baik dalam pelestarian macan tutul Jawa,” pungkas Tony. ?

Tes Memasang Video Player pad Postingan

Halo Apa Kabar Semuanya? Semoga Sehat Selalu Ya?, oh iya dalam postingan kali ini saya akan mencoba membuat postingan video dengan bantuan html dan situs telegra.ph, semoga percobaan kali ini berhasil

Nah demikian sudah percobaan saya, bagaimana menurut kalian berhasil atau tidak? Kalo saya coba di Platform sebelah si berhasil, semoga di sini berhasil juga ya... Terimakasih sudah berkunjung.

Selasa, 18 Januari 2022

Capaian Berbeda-Beda di Asia Tenggara Untuk Melipatgandakan Populasi Harimau.

Jumlah harimau liar mengalami penurunan di semua negara yang memiliki harimau di daratan Asia Tenggara. Diperkirakan negara-negara ini memiliki lebih sedikit populasi harimau dibanding tahun 2010, yang dijadikan titik awal target pelipatgandaan populasi di tahun 2022.

Selama 25 tahun terakhir, harimau telah punah di Kamboja, Laos, Vietnam, dan terdapat penurunan populasi signifikan di Malaysia, Myanmar, dan pada tingkat yang lebih rendah di Thailand.

“Populasi harimau di Asia Tenggara mengalami penurunan pada tingkat yang mengkhawatirkan meskipun ada kesepakatan global untuk meningkatkan populasi harimau satu dekade yang lalu. Masih belum terlambat untuk segera mengambil tindakan dalam pengelolaan sumber daya benteng terakhir kucing besar yang merupakan ikon Asia,” kata Stuart Chapman, pemimpin Tigers Alive Initiative WWF.

“Negara-negara seperti India, Nepal, dan Rusia telah menunjukkan bahwa dengan intervensi yang tepat, populasi harimau dapat dipulihkan, dan dalam beberapa kasus, berlipat ganda dalam waktu yang relatif singkat. Dengan tersedianya habitat, mangsa, dan perlindungan yang cukup dari perburuan, harimau dapat kembali lagi.”

Jerat masih menjadi ancaman terbesar bagi harimau di Asia Tenggara. Diperkirakan terdapat 12 juta jerat di seluruh kawasan lindung di Kamboja, Laos, dan Vietnam—negara-negara di mana harimau sudah punah secara lokal dan menjadi contoh bagi wilayah lain bila tidak ada tindakan tegas untuk menghentikan krisis ini.

Ancaman besar lainnya termasuk hilangnya habitat yang disebabkan pembangunan infrastruktur, pembalakan liar, perluasan perkebunan, perdagangan ilegal harimau dan bagian tubuh harimau. Setara dengan 1004 harimau utuh ditangkap antara tahun 2000-2018 di Asia Tenggara, sementara itu, 8.000 harimau diperkirakan berada di penangkaran di Cina, Laos, Thailand dan Vietnam, yang terus melemahkan penegakan hukum dan mendorong permintaan produk harimau.

Terlepas dari penurunan jumlah harimau secara keseluruhan di wilayah tersebut, ada beberapa kisah sukses seperti patroli anti-perburuan liar yang dipimpin oleh anggota masyarakat adat di Kompleks Hutan Belum Temengor Malaysia, telah berkontribusi pada pengurangan 94% jerat aktif sejak 2017. Di Thailand, harimau menyebar dari Suaka Margasatwa Huai Kha Khaeng ke kawasan lindung lainnya berkat pengelolaan dan konektivitas kawasan lindung yang kuat.

“Kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, mitra perusahaan, dan komunitas lokal telah mengurangi perburuan liar di Kompleks Hutan Belum Temengor Malaysia. Sekarang kita perlu meningkatkannya di seluruh negeri dan menyesuaikan dengan kemauan politik dan investasi yang kuat,” kata Sophia Lim, Direktur Eksekutif dan CEO WWF-Malaysia.

“Pemulihan harimau Asia Tenggara juga akan membantu mitigasi perubahan iklim, melindungi daerah tangkapan air, mengurangi dampak bencana alam, dan memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.”

Pemerintah di Asia Tenggara memiliki kesempatan untuk membalikkan penurunan jumlah harimau dengan mendukung Rencana Aksi Pemulihan Harimau Asia Tenggara yang akan diajukan pada Konferensi Tingkat Menteri Asia ke-empat tentang Konservasi Harimau yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia pada bulan November. Termasuk dalam rencana tersebut antara lain peningkatan anggaran kawasan lindung termasuk penjaga hutan di lapangan, dan pengawasan politik tingkat tinggi untuk konservasi harimau melalui pembentukan Komite Harimau Nasional yang diketuai oleh kepala pemerintahan. Elemen lain dari rencana tersebut juga harus mencakup identifikasi peluang untuk translokasi dan pelepasan harimau di habitat terdahulu, serta penanganan perdagangan ilegal harimau dan bagian tubuh harimau.

Beberapa dari langkah-langkah ini telah diadopsi dengan sukses di negara lain. India misalnya telah menerapkan praktik terbaik dalam pengelolaan kawasan konservasi harimau, ada 14 situs yang disetujui di bawah Conservation Assured Tiger Standards (CA|TS)—alat pengukuran konservasi yang menetapkan standar untuk mengelola spesies target dan tolok ukur kemajuan. Saat ini terdapat 100+ situs CA|TS secara global, mencakup lebih dari 70% populasi harimau global, dengan situs terdaftar di Bangladesh, Bhutan, Cina, India, Malaysia, Nepal, dan Rusia.

Harimau Sondaica

Dunia selama ini mengenal ada sembilan subspesies harimau, yakni Harimau Indochina (Panthera tigris corbetii), Harimau Benggala (Panthera tigris tigris), Harimau China Selatan (Panthera tigris amoyensis), Harimau Siberia (Panthera tigris altaica), Harimau Malaya (Panthera tigris jacksoni), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), Harimau Bali (Panthera tigris balica), dan Harimau Kaspian (Panthera tigris virgata).

Berbeda dengan apa yang selama ini dikenal oleh seluruh masyarakat di dunia, beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Juni 2015, telah dipublikasikan sebuah hasil penelitian tentang studi taksonomi kucing besar yang khas dengan motif loreng ini. Penelitian ini dilakukan oleh beberapa ilmuwan asal Institute Leibniz for Zoo and Wildlife Research (IZW) Berlin, Jerman, yakni Andreas Wilting, Alexandre Courtiol, Per Christiansen, Jürgen Niedballa, Anne K. Scharf, Ludovic Orlando, Niko Balkenhol, Haribert Hofer, Stephanie Kramer-Schadt, Jörns Fickel, dan Andrew C. Kitchener. Hasil studi yang berjudul “Planning Tiger Recovery: Understanding Intraspecific Variation for Effective Conservation” ini tergolong revolusioner dan berhasil membuat geger dunia konservasi. Tidak hanya itu, sebagian kalangan menganggap hasil penelitian ini kontroversial.

Berbeda dengan studi taksonomi pada umumnya, para peneliti asal Eropa ini justru melakukan penyederhanaan klasifikasi subspesies harimau yang sudah ada. Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advance Volume 1 No. 5 tahun 2015 ini mengungkapkan fakta ilmiah yang menunjukkan klasifikasi baru harimau di dunia, dari yang tadinya sembilan subspesies menjadi dua subspesies saja.

Seluruh jenis harimau yang tersebar di daratan Asia, mulai dari Rusia, Timur Tengah, India, Tiongkok, Indochina hingga semenanjung Malaysia dianggap sebagai satu subspesies yang sama, yakni Harimau Kontinental. Nama ilmiah yang digunakan adalah Panthera tigris tigris, yang selama ini hanya digunakan untuk menyebut Harimau Benggala. Sedangkan tiga jenis harimau di Indonesia (Harimau Jawa, Harimau Bali dan Harimau Sumatera) dianggap satu subspesies bernama Harimau Sunda dengan nama ilmiah Panthera tigris sondaica. Pemilihan kata “Sunda” mengacu pada kawasan biogeografi yang mencakup Sumatera, Jawa dan Bali.

Penggolongan klasifikasi dua subspesies tersebut dilakukan oleh Andreas Wilting dkk berdasarkan penggabungan beragam karakter kunci dari tiga aspek utama, yakni morfologi, genetika, dan ekologi. Hal ini berbeda dengan studi taksonomi sebelumnya yang hanya mengandalkan ciri-ciri bentuk tubuh atau morfologinya saja. Selain mempertimbangkan karakter genetik dan morfologi seperti tengkorak dan loreng, para ilmuwan ini juga mempertimbangkan karakter ekologi harimau-harimau tersebut, seperti karakteristik ekologi yang khas (relung) dan kemampuan adaptasi harimau dalam beragam tipe habitat. Walau begitu, penyederhanaan penamaan (taksonomi) pada subspesies kucing besar berloreng ini masih dalam proses pengkajian ulang oleh International Commission on Zoological Nomenclature pada tingkat global, dan juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan di tingkat nasional.

Jika memang Harimau Jawa, Harimau Bali, dan Harimau Sumatera adalah subspesies yang sama, yakni Harimau Sunda, pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah upaya pelestarian Harimau Sumatera dilakukan di pulau lain seperti di Jawa dan Bali dapat dilakukan? Reintroduksi spesies menjadi sebuah upaya yang memungkinkan untuk mengembalikan spesies yang telah dinyatakan punah di kawasan tertentu. Terkait hal ini, ahli ekologi satwa liar WWF-Indonesia, Sunarto mengatakan bahwa reintroduksi Harimau Sumatera sangat mungkin dilakukan di pulau lain, namun hal ini membutuhkan proses panjang serta langkah yang matang. Harimau tidak bisa serta merta dilepaskan begitu saja di habitat baru.

Sebelum melakukan reintroduksi Harimau Sumatera di habitat baru, harus ada riset-riset mendalam yang mengarah ke upaya reintroduksi tersebut yang setidaknya membutuhkan waktu 20 hingga 50 tahun ke depan. Proses eksplorasi ini harus segera dilakukan, jangan sampai proses eksplorasi ini baru dilakukan saat populasi harimau sudah sangat sedikit karena termakan waktu dan ancaman yang berkembang sangat cepat.

Sebagaimana kucing lainnya, Harimau Sumatera juga merupakan satwa yang relatif mudah berkembangbiak. Lantas apa yang membuat populasi spesies ini sulit bertambah? “Populasinya sulit naik kalau perburuan masih tinggi. Harimau sebagai predator puncak memang memiliki jumlah populasi yang secara alami relatif kecil. Satwa ini perlu memangsa satwa besar dalam jumlah yang cukup banyak, dan karenanya memerlukan wilayah jelajah yang luas. Sayangnya, habitatnya semakin sempit,” jelas Sunarto.

Tak dapat dipungkiri, perburuan dan perdagangan ilegal kucing besar ini di pasar gelap memang masih marak. Tak hanya itu, alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau perkebunan yang merenggut rumah harimau juga kerap memicu terjadinya konflik antara harimau dan manusia, sehingga ini memunculkan stigma bahwa Harimau Sumatera adalah hewan buas yang membahayakan dan harus dibunuh. Beberapa hal tersebut menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kelestarian satwa yang dijuluki raja rimba ini.

Harimau merupakan satwa penting dalam kerangka ekosistem, karena posisinya yang menempati puncak dalam piramida makanan. Dengan begitu, kucing besar berloreng ini berperan sebagai pengendali populasi di alam. Ruang jelajahnya yang luas juga membuat satwa ini menjadi salah satu spesies payung yang ada di Indonesia. Itu artinya, dengan kita melindungi dan melestarikan Harimau Sumatera, maka satwa lain yang hidup di hutan dalam ruang jelajahnya juga ikut terlindungi. Bila satwa ini punah, tentunya keseimbangan ekosistem akan terganggu.

Hasil klasifikasi Wilting dkk menunjukkan bahwa Harimau Sunda (Panthera tigris sondaica) hanya dapat ditemukan di Indonesia. Walau pun sekilas terlihat seperti terdapat reduksi subspesies harimau yang dimiliki Indonesia, yakni dari tiga subspesies menjadi hanya satu subspesies, namun kita tetap patut berbangga. Hal ini karena Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menjadi habitat satu spesies harimau tersebut.

Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa Harimau Sunda adalah harimau endemik Indonesia, berbeda dengan Harimau Kontinental yang tersebar di beberapa negara. Oleh karenanya, Harimau Sunda juga dapat kita sebut Harimau Indonesia, atau Harimau Nusantara. Sudah sepatutnya hal ini memunculkan rasa tanggung jawab masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menjaga subspesies unik ini. Menjaga kelestarian Harimau Indonesia adalah tugas kita bersama sebagai masyarakat Indonesia. Jangan biarkan satwa kebanggaan kita punah dan hanya tinggal nama. Mari bersama kita selamatkan Harimau Indonesia!

Macan Tutul Salju Calon Korban Perubahan Iklim



Sekelompok ilmuwan World Wildlife Fund melakukan penelitian terhadap habitat macan tutul salju di kawasan pegunungan Himalaya. Hasilnya, seperti dituangkan dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Biological Conservation, perubahan iklim meningkatkan ancaman terhadap kelangsungan hidup spesies hewan tersebut.



Dalam studinya, peneliti menggunakan pemodelan komputer dan penelitian lapangan di kawasan dataran tinggi. Mereka kemudian membuat pemodelan dampak berbagai skenario pemanasan global di kawasan Himalaya di mana macan tutul salju tinggal.



Ternyata, pemanasan di kawasan tinggi di Himalaya terjadi dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata pemanasan global. Dari penelitian itu juga terungkap, bahwa emisi gas rumah kaca saat ini terus meningkat secara stabil.



Jika kondisinya terus berlangsung, 30 persen habitat macan tutul salju di kawasan Himalaya akan musnah karena pepohonan terus bergeser ke kawasan yang lebih sejuk.



Macan tutul salju (Panthera uncia), merupakan spesies terancam punah yang populasinya diperkirakan hanya tersisa sekitar 4.000 sampai 6.500 ekor saja. Mereka tersebar di kawasan pegunungan di Asia utara dan Asia tengah, termasuk sebagian kawasan pegunungan Himalaya.



Di Himalaya, macan tutul salju hidup di dataran tinggi Alpen, di atas garis pepohonan, umumnya di bawah ketinggian lima ribu meter dari permukaan laut. Kawasan di mana mereka bisa diam-diam melacak santapan mereka.



Menurut studi, kondisi yang lebih hangat dan basah di Himalaya kemungkinan akan menyebabkan hutan akan bergeser naik ke kawasan Alpen, habitat favorit macan tutul salju. “Macan tutul salju jarang menjelajah ke kawasan hutan dan ada batasan ketinggian maksimal yang bisa dicapai oleh hewan ini,” kata Jessica Forrest, salah satu ilmuwan WWF yang melakukan penelitian.



“Jika garis pepohonan bergerak naik seperti yang kami prediksikan, macan tutul salju tidak lagi punya pilihan di mana mereka bisa hidup,” ucapnya.



Menurut Rinjan Shrestha, pakar macan tutul salju WWF, hilangnya habitat Alpen bukan hanya berarti berkurangnya ruang yang tersisa bagi macan tutul salju. Tetapi itu juga berpotensi membuat hewan ini bergerak semakin dekat ke kawasan aktivitas manusia, misalnya daerah penggembalaan ternak.



“Saat penggembalaan semakin meluas sementara mangsa alami macan tutul salju berkurang, mereka akan mulai menyantap ternak dan akan membuat para pemilik ternak mulai membunuhi hewan tersebut,” ucap Shrestha.



Untungnya, peneliti juga berhasil menemukan kawasan yang kemungkinan mampu bertahan lebih baik dalam menghadapi efek perubahan iklim dan bisa menyediakan habitat cadangan bagi macan tutul salju di masa depan. Namun, banyak dari kawasan tersebut melintasi batas negara-negara. Kondisi tersebut membuat kebutuhan atas kerjasama antar negara dalam melindungi spesies langka ini menjadi sangat penting.