Tampilkan postingan dengan label Galeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Galeri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Januari 2022

Capaian Berbeda-Beda di Asia Tenggara Untuk Melipatgandakan Populasi Harimau.

Jumlah harimau liar mengalami penurunan di semua negara yang memiliki harimau di daratan Asia Tenggara. Diperkirakan negara-negara ini memiliki lebih sedikit populasi harimau dibanding tahun 2010, yang dijadikan titik awal target pelipatgandaan populasi di tahun 2022.

Selama 25 tahun terakhir, harimau telah punah di Kamboja, Laos, Vietnam, dan terdapat penurunan populasi signifikan di Malaysia, Myanmar, dan pada tingkat yang lebih rendah di Thailand.

“Populasi harimau di Asia Tenggara mengalami penurunan pada tingkat yang mengkhawatirkan meskipun ada kesepakatan global untuk meningkatkan populasi harimau satu dekade yang lalu. Masih belum terlambat untuk segera mengambil tindakan dalam pengelolaan sumber daya benteng terakhir kucing besar yang merupakan ikon Asia,” kata Stuart Chapman, pemimpin Tigers Alive Initiative WWF.

“Negara-negara seperti India, Nepal, dan Rusia telah menunjukkan bahwa dengan intervensi yang tepat, populasi harimau dapat dipulihkan, dan dalam beberapa kasus, berlipat ganda dalam waktu yang relatif singkat. Dengan tersedianya habitat, mangsa, dan perlindungan yang cukup dari perburuan, harimau dapat kembali lagi.”

Jerat masih menjadi ancaman terbesar bagi harimau di Asia Tenggara. Diperkirakan terdapat 12 juta jerat di seluruh kawasan lindung di Kamboja, Laos, dan Vietnam—negara-negara di mana harimau sudah punah secara lokal dan menjadi contoh bagi wilayah lain bila tidak ada tindakan tegas untuk menghentikan krisis ini.

Ancaman besar lainnya termasuk hilangnya habitat yang disebabkan pembangunan infrastruktur, pembalakan liar, perluasan perkebunan, perdagangan ilegal harimau dan bagian tubuh harimau. Setara dengan 1004 harimau utuh ditangkap antara tahun 2000-2018 di Asia Tenggara, sementara itu, 8.000 harimau diperkirakan berada di penangkaran di Cina, Laos, Thailand dan Vietnam, yang terus melemahkan penegakan hukum dan mendorong permintaan produk harimau.

Terlepas dari penurunan jumlah harimau secara keseluruhan di wilayah tersebut, ada beberapa kisah sukses seperti patroli anti-perburuan liar yang dipimpin oleh anggota masyarakat adat di Kompleks Hutan Belum Temengor Malaysia, telah berkontribusi pada pengurangan 94% jerat aktif sejak 2017. Di Thailand, harimau menyebar dari Suaka Margasatwa Huai Kha Khaeng ke kawasan lindung lainnya berkat pengelolaan dan konektivitas kawasan lindung yang kuat.

“Kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, mitra perusahaan, dan komunitas lokal telah mengurangi perburuan liar di Kompleks Hutan Belum Temengor Malaysia. Sekarang kita perlu meningkatkannya di seluruh negeri dan menyesuaikan dengan kemauan politik dan investasi yang kuat,” kata Sophia Lim, Direktur Eksekutif dan CEO WWF-Malaysia.

“Pemulihan harimau Asia Tenggara juga akan membantu mitigasi perubahan iklim, melindungi daerah tangkapan air, mengurangi dampak bencana alam, dan memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal.”

Pemerintah di Asia Tenggara memiliki kesempatan untuk membalikkan penurunan jumlah harimau dengan mendukung Rencana Aksi Pemulihan Harimau Asia Tenggara yang akan diajukan pada Konferensi Tingkat Menteri Asia ke-empat tentang Konservasi Harimau yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia pada bulan November. Termasuk dalam rencana tersebut antara lain peningkatan anggaran kawasan lindung termasuk penjaga hutan di lapangan, dan pengawasan politik tingkat tinggi untuk konservasi harimau melalui pembentukan Komite Harimau Nasional yang diketuai oleh kepala pemerintahan. Elemen lain dari rencana tersebut juga harus mencakup identifikasi peluang untuk translokasi dan pelepasan harimau di habitat terdahulu, serta penanganan perdagangan ilegal harimau dan bagian tubuh harimau.

Beberapa dari langkah-langkah ini telah diadopsi dengan sukses di negara lain. India misalnya telah menerapkan praktik terbaik dalam pengelolaan kawasan konservasi harimau, ada 14 situs yang disetujui di bawah Conservation Assured Tiger Standards (CA|TS)—alat pengukuran konservasi yang menetapkan standar untuk mengelola spesies target dan tolok ukur kemajuan. Saat ini terdapat 100+ situs CA|TS secara global, mencakup lebih dari 70% populasi harimau global, dengan situs terdaftar di Bangladesh, Bhutan, Cina, India, Malaysia, Nepal, dan Rusia.

Harimau Sondaica

Dunia selama ini mengenal ada sembilan subspesies harimau, yakni Harimau Indochina (Panthera tigris corbetii), Harimau Benggala (Panthera tigris tigris), Harimau China Selatan (Panthera tigris amoyensis), Harimau Siberia (Panthera tigris altaica), Harimau Malaya (Panthera tigris jacksoni), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), Harimau Bali (Panthera tigris balica), dan Harimau Kaspian (Panthera tigris virgata).

Berbeda dengan apa yang selama ini dikenal oleh seluruh masyarakat di dunia, beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 26 Juni 2015, telah dipublikasikan sebuah hasil penelitian tentang studi taksonomi kucing besar yang khas dengan motif loreng ini. Penelitian ini dilakukan oleh beberapa ilmuwan asal Institute Leibniz for Zoo and Wildlife Research (IZW) Berlin, Jerman, yakni Andreas Wilting, Alexandre Courtiol, Per Christiansen, Jürgen Niedballa, Anne K. Scharf, Ludovic Orlando, Niko Balkenhol, Haribert Hofer, Stephanie Kramer-Schadt, Jörns Fickel, dan Andrew C. Kitchener. Hasil studi yang berjudul “Planning Tiger Recovery: Understanding Intraspecific Variation for Effective Conservation” ini tergolong revolusioner dan berhasil membuat geger dunia konservasi. Tidak hanya itu, sebagian kalangan menganggap hasil penelitian ini kontroversial.

Berbeda dengan studi taksonomi pada umumnya, para peneliti asal Eropa ini justru melakukan penyederhanaan klasifikasi subspesies harimau yang sudah ada. Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advance Volume 1 No. 5 tahun 2015 ini mengungkapkan fakta ilmiah yang menunjukkan klasifikasi baru harimau di dunia, dari yang tadinya sembilan subspesies menjadi dua subspesies saja.

Seluruh jenis harimau yang tersebar di daratan Asia, mulai dari Rusia, Timur Tengah, India, Tiongkok, Indochina hingga semenanjung Malaysia dianggap sebagai satu subspesies yang sama, yakni Harimau Kontinental. Nama ilmiah yang digunakan adalah Panthera tigris tigris, yang selama ini hanya digunakan untuk menyebut Harimau Benggala. Sedangkan tiga jenis harimau di Indonesia (Harimau Jawa, Harimau Bali dan Harimau Sumatera) dianggap satu subspesies bernama Harimau Sunda dengan nama ilmiah Panthera tigris sondaica. Pemilihan kata “Sunda” mengacu pada kawasan biogeografi yang mencakup Sumatera, Jawa dan Bali.

Penggolongan klasifikasi dua subspesies tersebut dilakukan oleh Andreas Wilting dkk berdasarkan penggabungan beragam karakter kunci dari tiga aspek utama, yakni morfologi, genetika, dan ekologi. Hal ini berbeda dengan studi taksonomi sebelumnya yang hanya mengandalkan ciri-ciri bentuk tubuh atau morfologinya saja. Selain mempertimbangkan karakter genetik dan morfologi seperti tengkorak dan loreng, para ilmuwan ini juga mempertimbangkan karakter ekologi harimau-harimau tersebut, seperti karakteristik ekologi yang khas (relung) dan kemampuan adaptasi harimau dalam beragam tipe habitat. Walau begitu, penyederhanaan penamaan (taksonomi) pada subspesies kucing besar berloreng ini masih dalam proses pengkajian ulang oleh International Commission on Zoological Nomenclature pada tingkat global, dan juga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan di tingkat nasional.

Jika memang Harimau Jawa, Harimau Bali, dan Harimau Sumatera adalah subspesies yang sama, yakni Harimau Sunda, pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah upaya pelestarian Harimau Sumatera dilakukan di pulau lain seperti di Jawa dan Bali dapat dilakukan? Reintroduksi spesies menjadi sebuah upaya yang memungkinkan untuk mengembalikan spesies yang telah dinyatakan punah di kawasan tertentu. Terkait hal ini, ahli ekologi satwa liar WWF-Indonesia, Sunarto mengatakan bahwa reintroduksi Harimau Sumatera sangat mungkin dilakukan di pulau lain, namun hal ini membutuhkan proses panjang serta langkah yang matang. Harimau tidak bisa serta merta dilepaskan begitu saja di habitat baru.

Sebelum melakukan reintroduksi Harimau Sumatera di habitat baru, harus ada riset-riset mendalam yang mengarah ke upaya reintroduksi tersebut yang setidaknya membutuhkan waktu 20 hingga 50 tahun ke depan. Proses eksplorasi ini harus segera dilakukan, jangan sampai proses eksplorasi ini baru dilakukan saat populasi harimau sudah sangat sedikit karena termakan waktu dan ancaman yang berkembang sangat cepat.

Sebagaimana kucing lainnya, Harimau Sumatera juga merupakan satwa yang relatif mudah berkembangbiak. Lantas apa yang membuat populasi spesies ini sulit bertambah? “Populasinya sulit naik kalau perburuan masih tinggi. Harimau sebagai predator puncak memang memiliki jumlah populasi yang secara alami relatif kecil. Satwa ini perlu memangsa satwa besar dalam jumlah yang cukup banyak, dan karenanya memerlukan wilayah jelajah yang luas. Sayangnya, habitatnya semakin sempit,” jelas Sunarto.

Tak dapat dipungkiri, perburuan dan perdagangan ilegal kucing besar ini di pasar gelap memang masih marak. Tak hanya itu, alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau perkebunan yang merenggut rumah harimau juga kerap memicu terjadinya konflik antara harimau dan manusia, sehingga ini memunculkan stigma bahwa Harimau Sumatera adalah hewan buas yang membahayakan dan harus dibunuh. Beberapa hal tersebut menjadi momok yang sangat menakutkan bagi kelestarian satwa yang dijuluki raja rimba ini.

Harimau merupakan satwa penting dalam kerangka ekosistem, karena posisinya yang menempati puncak dalam piramida makanan. Dengan begitu, kucing besar berloreng ini berperan sebagai pengendali populasi di alam. Ruang jelajahnya yang luas juga membuat satwa ini menjadi salah satu spesies payung yang ada di Indonesia. Itu artinya, dengan kita melindungi dan melestarikan Harimau Sumatera, maka satwa lain yang hidup di hutan dalam ruang jelajahnya juga ikut terlindungi. Bila satwa ini punah, tentunya keseimbangan ekosistem akan terganggu.

Hasil klasifikasi Wilting dkk menunjukkan bahwa Harimau Sunda (Panthera tigris sondaica) hanya dapat ditemukan di Indonesia. Walau pun sekilas terlihat seperti terdapat reduksi subspesies harimau yang dimiliki Indonesia, yakni dari tiga subspesies menjadi hanya satu subspesies, namun kita tetap patut berbangga. Hal ini karena Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menjadi habitat satu spesies harimau tersebut.

Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa Harimau Sunda adalah harimau endemik Indonesia, berbeda dengan Harimau Kontinental yang tersebar di beberapa negara. Oleh karenanya, Harimau Sunda juga dapat kita sebut Harimau Indonesia, atau Harimau Nusantara. Sudah sepatutnya hal ini memunculkan rasa tanggung jawab masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menjaga subspesies unik ini. Menjaga kelestarian Harimau Indonesia adalah tugas kita bersama sebagai masyarakat Indonesia. Jangan biarkan satwa kebanggaan kita punah dan hanya tinggal nama. Mari bersama kita selamatkan Harimau Indonesia!